Kamis, 19 Oktober 2017

PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN ANDARGOGI DAN HEUTAGOGI



BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar  Belakang
       Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang sangat penting dalam usahanya mempertahankan hidup dan mengembangkan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Belajar dirasa penting karena kehidupan manusia semakin berkembang dan semakin maju seiring dengan berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan, tanpa belajar manusia akan tertinggal dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Dengan demikian belajar merupakan suatu kebutuhan yang dirasa sebagai suatu keharusan untuk dipenuhi sepanjang usia manusia, sejak lahir hingga akhir hayatnya.
       Pada hakekatnya, belajar adalah suatu proses kejiwaan atau peristiwa pribadi yang terjadi didalam diri setiap individu. Hasil belajar itu sendiri tidak dapat tercapai jika dalam diri seseorang tidak terjadi proses belajar. Belajar itu sendiri secara sederhana dapat diberi definisi sebagai aktifitas yang dilakukan individu secara sadar untuk mendapatkan sejumlah kesan dari apa yang telah dipelajari dan sebagai hasil dari interaksinya  dengan lingkungan sekitarnya. Aktivitas di sini dipahami sebagai serangkaian kegiatan jiwa raga, psikofisik, menuju ke perkembangan pribadi individu seutuhnya, yang menyangkut unsure cipta (kognitif), rasa (afektif), dan karsa (psikomotor).  
       Pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu sebagai pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Ini berarti individu yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan itu atau sekurang-kurangnya individu merasakan telah terjadi adanya suatu perubahan dalam dirinya. Suatu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna agi kehidupan ataupun proses belajarberikutnya. Karakteristik yang khas dari seeorang dapat kita sebut dengan kepribadian. Setiap manusia memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri, tidak ada manusia yang persis sama. Dari sekian banyak manusia, ternyata masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor bawaan dan faktor lingkungan yang saling berinteraksi terus-menerus.
       Dalam kegiatan pembelajaran dekenal dengan pendidikan orang dewasa, dimana pembelajaran ini merupakan hasil pengembangan dari pendidikan masa ana-anak (perdagogi). Pada dasarnya "orang dewasa" memiliki banyak pengalaman baik dalam bidang pekerjaannya maupun pengalaman lain dalam kehidupannnya. Tentu saja untuk menghadapi peserta pendidikan yang pada umumnya adalah "orang dewasa" dibutuhkan suatu strategi dan pendekatan yang berbeda dengan "pendidikan dan pelatihan" ala bangku sekolah, atau pendidikan konvensional yang sering disebut dengan pendekatan Pedagogis. Dalam  praktek "pendekatan pedagogis" yang diterapkan dalam pendidikan dan pelatihan seringkali tidak cocok. Untuk itu, dibutuhkan suatu pendekatan yang lebih cocok dengan "kematangan", "konsep diri" peserta dan "pengalaman peserta". Di dalam dunia pendidikan, strategi dan pendekatan ini dikenal dengan "Pendidikan Orang Dewasa" (Adult Education).
       Disamping itu, ada sebuah konsep pembelajaran diri yang juga merupakan hasil pengembangan dari pembelajaran orang dewasa (andragogi) yang disebut heutagogi. Jenis pembelajarn ini termasuk pembelajaran yang baru dikenal dalam proses pembelajaran saat ini.
       Untuk lebih memahami bagaimana pembelajaran andragogi dan heutagogi, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang konsep pembelajaran tersebut serta bagaimana penerapannya dalam dunia pendidikan saat ini.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana konsep pembelajaran andragogi dan heutagogi?
2.      Bagaimana prinsip-prinsip pembelajaran andragogi dan heutagogi?




BAB II
PENJELASAN


A.      Pembelajaran Andragogi dan Heutagogi
1.      Pembelajaran Andragogi
       Istilah andragogi bearasal dari bahasa Yunani “andra” yang berarti dewasa dan “agogos” yang bermakna mendidik atau mengajari. Sehingga andragogi diartikan sebagai ilmu tentang cara membimbing orang dewasa dalam proses belajar.[1] Istilah andragogi pertama kali muncul pada tahun 1833 oleh Alexander Kapp sebagai istilah pendidikan orang dewasa dalam menjelaskan teori pendidikan yang telah dilahirkan oleh ahli-ahli filsafat seperti Plato.
       Menurut Knowles, pendidikan orang dewasa berbeda dengan pendidikan anak-anak (paedagogi). Jadi istilah andragogi mulai dirumuskan sebagai teori baru sejak tahun 1970-an oleh Malcolm Knowles yang memperkenalkan istilah tersebut untuk pembelajaran pada orang dewasa.[2] Menurutnya lagi bahwa orang dewasa dapat mandiri dan mengharapkan mengambil tanggung jawab atas keputusan mereka sendiri.
       Menurut Mustofa Kamil, definisi pendidikan orang dewasa merujuk pada kondisi peserta didik dewasa baik dilihat dari dimensi fisik (biologis), psikologis, dan sosial. Sesorang dikatakan dewasa secara biologis apabila ia telah mampu melakukan reproduksi. Adapun dewasa secara psikologis berarti seseorang telah memiliki tanggung jawab terhadap kehidupan dan keputusan yang diambil. Kemudian dewasa secara sosiologis berarti seseorang telah mampu melakukan peran-peran sosial yang biasa berlaku di masyarakat. [3] 
       Dalam ajaran Islam, seseorang dikatakan dewasa apabila ia telah memasuki usia balig, yakni usia yang telah mengakhiri masa kanak-kanak dan telah mencapai dewasa secara syari’at sehingga memiliki tanggung jawab yang ditentukan dalam dirinya untuk memikul kewajiban hukum syar’i. Ketika memasuki usia balig, seseorang dipandang telah mampu membedakan yang baik dan buruk serta memiliki pandangan atau pemikiran yang lebih luas dibanding masa kanak-kanak.
       Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa andragogi adalah proses pendidikan dan pembelajaran bagi peserta didik yang dewasa. Dewasa yang dimaksud utamanya kedewasaan atau sikap dewasa yang bisa ditampilkan oleh warga belajar.
       Dalam implementasinya, pendidikan orang dewasa dilaksanakan dalam bentuk pendidikan formal dan nonformal. Bentuk pendidikan formal dilaksanakan pada level pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) hingga Perguruan Tinggi (PT). Kemudian dalam wujud nonformal, dilaksanakan dalam bentuk Pendidikan Luar Sekolah (PLS), kursus-kursus, bimbingan dan penyuluhan kesehatan, kegiatan pengajian agama atau majelis taklim, pelatihan organisasi-organisasi, program-program pembangunan masyarakat, dan sejenisnya.
2.      Pembelajaran Heutagogi
       Heutagogi (berdasarkan bahasa Yunani untuk "diri") didefinisikan oleh Hase dan Kenyon pada tahun 2000 sebagai studi tentang pembelajaran yang ditentukan sendiri. Heutagogi menerapkan pendekatan holistik untuk mengembangkan kemampuan belajar, dengan belajar sebagai proses aktif dan proaktif, dan peserta didik berperan sebagai "agen utama dalam pembelajaran mereka sendiri, yang terjadi sebagai hasil pengalaman pribadi”.[4]
        Seperti dalam pendekatan andragogi, dalam heutagogi, pendidik  juga memfasilitasi proses pembelajaran dengan memberikan panduan dan sumber daya, namun sepenuhnya membebaskan jalan pembelajaran dan proses kepada peserta didik, yang menegosiasikan pembelajaran dan menentukan apa yang akan dipelajari dan bagaimana hal itu dipelajari.[5]
       Konsep kunci dalam heutagogi adalah pembelajaran double-loop dan refleksi diri. Dalam pembelajaran double-loop, peserta didik mempertimbangkan masalah dan tindakan dan hasil yang dihasilkan, selain untuk merefleksikan proses pemecahan masalah dan bagaimana hal itu mempengaruhi keyakinan dan tindakan peserta didik. Pembelajaran double-loop terjadi ketika peserta didik "mempertanyakan dan menguji nilai dan asumsi pribadi seseorang sebagai inti untuk meningkatkan pembelajaran bagaimana cara belajar".[6]
       Menurut Stephenson seperti yang dikutip oleh McAuliffe, dalam pembelajaran yang ditentukan sendiri, penting bagi peserta didik untuk memperoleh kompetensi dan kemampuan.[7] Kompetensi dapat dipahami sebagai kemampuan yang terbukti dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan, sementara kemampuan ditandai oleh kepercayaan peserta didik terhadap kompetensinya dan, sebagai hasilnya, kemampuan "mengambil tindakan yang tepat dan efektif untuk merumuskan dan memecahkan masalah baik yang familiar maupun yang tidak biasa dan mengubah keadaan.
       Dari pernyataan beberapa teori di atas dapat dipahami bahwa pembelajaran heutagogi adalah pembelajaran tentang bagaimana cara belajar dan menemukan sendiri dalam menyelesaikan suatu masalah dalam pembelajaran.
       Pada tahap aplikasi pembelajaran heutagogi, McAuliffe et al.  berpendapat bahwa "peniadaan pendidik membuat konsep heutagogi tidak praktis di lembaga yang terpercaya" dan tidak mungkin atau bahkan masuk akal untuk menerapkan jenis heutagogi dari penilaian yang didengar Peserta didik.[8]
       Meskipun demikian, para pendidik dalam profesi keperawatan, teknik, dan pendidikan telah menemukan heutagogi untuk menjadi respons yang kredibel terhadap isu kritis yang dihadapi peserta didik di tempat kerja dan telah merancang lingkungan belajar mereka berdasarkan pendekatan. Misalnya, dalam profesi keperawatan, Bhoyrub dkk  melaporkan bahwa heutagogi menyediakan kerangka kerja pembelajaran yang membahas kebutuhan siswa keperawatan, siapa yang harus belajar dalam lingkungan yang senantiasa berubah yang kompleks dan tidak dapat diprediksi; Pendekatan pembelajaran heutagogis membantu mereka menjadi pelajar seumur hidup, dan juga "memahami ketidakpastian yang diperlukan yang mendefinisikan keperawatan."[9]
       
B.       Prinsip-Prinsip Pembelajaran Andragogi dan Heutagogi
1.      Prinsip-Prinsip Pembelajaran Andragogi
       Knowles merumuskan prinsip-prinsip layanan bagi pembelajaran orang dewasa yaitu:
a.       The self-concept (konsep diri), orang dewasa dapat mengarahkan diri untuk belajar.
       Orang dewasa memiliki persepsi bahwa dirinya mampu membuat suatu keputusan, dapat menghadapi resiko sebagai akibat dari keputusan yang diambil, dan dapat mengatur kehidupan secara mandiri. Harga diri sangat penting bagi orang dewasa, dan dia memerlukan pengakuan dari orang lain terhadap harga dirinya. Perilaku yang terkesan menggurui cenderung akan ditanggapi secara negatif oleh orang dewasa. Apabila orang dewasa dihargai dan difasilitasi oleh pendidik maka mereka akan melibatkan diri secara optimal dalam pembelajaran. Kegiatan belajarnya akan berkembang ke arah belajar antisispatif (berorientasi ke masa depan) dan belajar partisipatif (bersama orang lain) dengan berpikir dan berbuat di dalam dan terhadap dunia kehidupannya.
b.      The role of learner’s experiences (pengalaman hidup), orang dewasa banyak belajar dari pengalaman.
       Setiap orang dewasa mempunyai pengalaman situasi, interaksi dan diri yang berbeda antara seorang dengan yang lainnya sesuai dengan perbedaan latar belakang kehidupan dan lingkungannya. Pengalaman situasi merupakan sederet suasana yang dialami orang dewasa pada masa lalu yang dapat digunakan untuk menanggapi keadaan saat ini. Pengalaman interaksi menyebabkan pertambahan kemahiran orang dewasa dalam memadukan kesadaran untuk melihat dirinya dari segi pandangan orang lain. Pengalaman diri adalah kecakapan orang dewasa pada masa kini dengan berbagai  situasi masa lalu.
       Oleh karena itu, pengalaman orang dewasa dapat dijadikan sumber belajar yang kaya untuk dimanfaatkan dalam pembelajaran. Orang dewasa yang mempelajari sesuatu yang baru cenderung dimaknai dengan menggunakan pengalaman lama. Sejalan dengan itu, peserta didik orang dewasa perlu dilibatkan sebagai sumber pembelajaran. Pengenalan dan penerapan konsep-konsep baru akan lebih mudah apabila berangkat dari pengalaman yang dimiliki orang dewasa.
       Bagi pembelajar dewasa, faktor pengalaman masa lampau sangat berpengaruh pada setiap tindakan yang akan dilakukan. Karena itu, pengalaman yang baik perlu digali dan ditumbuhkembangkan ke arah yang lebih bermanfaat. Disamping itu, pengembangan intelektualitas orang dewasa melalui suatu proses pengalaman secara bertahap dan diperluas. Pemaksimalan hasil pembelajaran dapat dicapai apabila setiap individu dewasa dapat memperluas jangkauan pola berpikirnya.
c.       Readiness to learn (kesiapan belajar), orang dewasa memiliki kesiapan yang maksimal untuk belajar.
       Sesuai dengan tingkat perkembangannya, orang dewasa diasumsikan memiliki kesiapan belajar yang matang, karena mereka harus menghadapi perannya sebagai pekerja, orang tua, atau pemimpin organisasi. Pembelajar dewasa siap untuk belajar hal-hal yang perlu mereka ketahui agar dapat mengatasi situasi kehidupannya secara efektif. Kesiapan belajarnya juga lebih dominan ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas serta peranan sosialnya.   Kesiapan belajar orang dewasa akan seirama dengan peran yang ia tampilkan baik dalam masyarakat maupun dalam tugas atau pekerjaan. Urutan program pembelajaran perlu disusun berdasarkan urutan tugas yang diperankan orang dewasa bukan berdasarkan urutan logis mata pelajaran. Jadi pembelajaran ini sudah masuk pada tahap pembelajaran aplikasi.
d.      Orientation to learning (orientasi belajar), orang dewasa memiliki kemampuan belajar.
       Kemampuan dasar untuk belajar tetap dimiliki setiap orang sepanjang hayatnya, khususnya orang dewasa. Kegiatan belajar orang dewasa senantiasa berorientasi pada realitas (kenyataan). Orang dewasa dapat belajar efektif apabila melibatkan aktivitas mental dan fisik. Orang dewasa dapat menentukan apa yang dipelajari, dimana dan bagaimana cara mempelajarinya serta kapan melakukan kegiatan belajar. Mereka dapat belajar dengan melibatkan pikiran dan perbuatan. Orang dewasa akan belajar secara efektif dengan melibatkan kemampuan intelek dan emosi, serta memanfaatkan berbagai media, metode, teknik dan pengalaman belajar.[10]
       Oleh karena itu, pembelajaran perlu mengarah pada peningkatan kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya. Dalam pendidikan orang dewasa, orientasi belajar diarahkan untuk memecahkan masalah, yakni belajar sambil bekerja pada persoalan sekarang untuk dipergunakan di masa sekarang juga dan kemudian diarahkan untuk bekal hidup di masa mendatang. Implikasi praktisnya, pembelajaran ini perlu berorientasi pada pemecahan masalah yang yang relevan dengan peranan orang dewasa dalam kehidupannya.
e.       The need to know (kebutuhan pengetahuan), orang dewasa paling tertarik untuk mempelajari mata pelajaran yang memiliki relevansi langsung dengan pekerjaannya atau kehidupan pribadinya.
       Orang dewasa diasumsikan memiliki kebutuhan terhadap pengetahuan. Kecenderungannya sebelum mempelajari sesuatu, mereka memandang perlu untuk mengetahui mengapa mereka harus mempelajarinya. Kebutuhan orang dewasa terhadap pengetahuan menunjukkan pentingnya aktivitas belajar sepanjang hayat (life long education). Dengan alasan kebutuhan, orang dewasa akan mendorong dirinya untuk belajar (learning to learn) sehingga dapat merespon dan menguasai secara cerdas berbagai pengetahuan yang berkembang seiring dengan pesatnya perkembangan zaman.
       Orang dewasa berpartisipasi dalam pembelajaran karena ia sedang merespon materi dan proses pembelajaran yang berhubungan dengan peran dalam kehidupannya. Pembelajaran orang dewasa hendaklah dirancang berdasarkan kebutuhan dan masalah yang dihadapi orang dewasa, seperti kebutuhan dan masalah dalam pekerjaan, peranan sosial budaya, dan ekonomi.
       Sejatinya pendidikan orang dewasa dapat mengakomodir segala aspek yang dibutuhkan orang dewasa yang terkait dalam aktivitas pembelajaran. Karena itu, idealnya dalam pendidikan orang dewasa dapat dilaksanakan langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut:[11]
1)      Menciptakan iklim belajar yang cocok untuk orang dewasa;
2)      Menciptakan struktur organisasi untuk perencanaan yang bersifat partisipatif;
3)      Mendiagnosis kebutuhan belajar;
4)      Merumuskan tujuan belajar;
5)      Mengembangkan rancangan kegiatan belajar;
6)      Melaksanakan kegiatan belajar;
7)      Mendiagnosis kembali kebutuhan belajar (evaluasi).
f.       Motivation (motivasi), orang dewasa memiliki motivasi internal untuk belajar karena mengetahui manfaat yang akan diperoleh dari apa yang dipelajarinya sehingga akan memberikan dorongan dari dalam diri untuk mengikuti pelajaran.
      Selain itu, orang dewasa diasumsikan memiliki motivasi instrinsik yang dapat bertahan dalam menyelesaikan tugas-tugas belajar tanpa ada tekanan eksternal, baik dalam bentuk sanksi atau hukuman (punisment) maupun hadiah (reward). Orang dewasa memiliki kebebasan untuk meneruskan aktivitas belajar atau menundanya, demikian pula menghentikan aktivitas lain demi kelangsungan kegiatan belajarnya.
       Lubis mengatakankan bahwa kondisi pembelajaran andragogi harus diwujudkan sedemikian rupa untuk memotivasi peserta didik dewasa merasakan kebutuhan belajar.[12] Proses pembelajaran bagi orang dewasa dapat memotivasi diri untuk mencari pengetahuan atau keterampilan yang lebih tinggi.
       Berbeda halnya dengan Knowles, dalam ajaran Islam, pendidikan oramg dewasa diarahkan untuk memaksimalkan potensi ‘aql (akal) dan qalb (kalbu) secara bersamaan untuk memahami ayat-ayat kauniah dan qauliyah Allah. Potensi akal untuk berfikir sedangkan potensi kalbu untuk berzikir. Orang-orang dewasa yang mampu memahami memahami secara mendetail tentang ayat-ayat Allah dengan memaksimalkan daya pikr dan zikir disebut dengan istilah ulul albab dalam firman-Nya (QS. Ali Imran/3: 190-191):

“(190) Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal; (191) (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan sesuatu dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”[13]

       Dari ayat tersebut bahwa obyek telaah pikir dan zikir ulul albaab adalah proses penciptaan langit dan bumi dan proses pertukaran siang dan malam.[14] Orang-orang dewasa yang mampu menghubungkan antara aql dan qalb dalam menemukan kebenaran diistilahkan al-Qur’an dengan ulul albab, yaitu orang-orang yang mampu memikirkan dan memahami seluk-beluk sesuatu sampai pada hakikat dan esensinya.
       Orang-orang dewasa yang menggunakan potensi pikir, zikir, dan kebersihan jiwa dalam kehidupannya, tentu saja memiliki motivasi yang kuat untuk menguasai ilmu dan memandang pendidikan sangat bermanfaat dalam mencapai kesejahteraan lahir-batin, sehingga senantiasa membutuhkan pendidikan dan gemar belajar secara berkesinambungan selagi kehidupan dunia masih dijalaninya. Sikap pembelajaran orang dewasa seperti inilah yang mendukung terlaksananya asas pendidikan seumur hidup (life long education) untuk tumbuh subur dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Disamping itu, dalam Islam merekomendasikan education for human being forever (pendidikan manusia selamanya).

2.      Prinsip-Prinsip Pembelajaran Heutagogi
       Prinsip-prinsip dalam pebelajaran heutagogi yaitu:
a.       Merasakan belajar yang selaras dengan eksistensi diri. Selaras dengan keberadaan diri, maksudnya kita akan lebih mudah merasakan belajar ketika pengalaman tersebut dirasa selaras dengan keberadaan diri kita.
b.      Menfilter pengalaman yang tidak selaras, pengalaman yang dirasa tidak selaras dengan keadaan diri akan mengalami penyaringan sehingga tidak mudah mempengaruhi diri, dan tidak mudah ditangkap sebagai pembelajaran.



















BAB III
KESIMPULAN

       Andragogi diartikan sebagai ilmu tentang cara membimbing orang dewasa dalam proses belajar. Sedangkan Heutagogi didefinisikan sebagai studi tentang pembelajaran yang ditentukan sendiri, atau dalam istlah lain belajar cara belajar.
       Prinsipi-prinsip dalam pembelajaran andragogi yaitu: (1) The self-concept (konsep diri), (2) The role of learner’s experiences (pengalaman hidup), (3) Readiness to learn (kesiapan belajar), (4) Orientation to learning (orientasi belajar), (5) The need to know (kebutuhan pengetahuan), (6) Motivation (motivasi). Dalam pembelajaran heutagogi dikenal dengan prisip-prinsip: (1) Merasakan belajar yang selaras dengan eksistensi diri, (2) Menfilter pengalaman yang tidak selaras.



















DAFTAR PUSTAKA

Baharuddin. 2007. Paradigma Psikologi Islam: Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Bhoryrub, J., Hurley, J., Neilson, G.R., Ramsay, M., & Smith, M. (2010). Heutagogy: An alternative practice based learning approach. Nurse Education in Practice, 10(6), 322-326.
Departemen Agama RI. 2005.  Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV Diponegoro
Eberle, J. 2009. Heutagogy: What your mother didn’t tell you about pedagogy and the conceptual age. In Proceedings from the 8th Annual European Conference on eLearning, October 29-30, 2009. Bari, Italy
Hase, S. 2009. Heutagogy and e-learning in the workplace: Some challenges and opportunities. Impact: Journal of Applied Research in Workplace E-learning, 1(1), 43-52.
Hase, S. & Kenyon, C. 2007. Heutagogy: A child of complexity theory. Complicity: An International Journal of Complexity and Education, 4(1), 111-119
Kamil, Mustofa. 2007.  Teori Andragogi”, dalam Ibrahim R., Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Imperial Bhakti Utama

Lubis, Nur A. Fadhil. 2014. Rekonstruksi Pendidikan Tinggi Islam. Bandung: Cipta Pustaka Media

McAuliffe, M., Hargreaves, D., Winter, A., & Chadwick, G. 2008. Does pedagogy still rule? In Proceedings of the 2008 AAEE Conference.  Yeppoon, Queensland

Sudjana, Djuju. 2007.  “Andragogi Praktis”, dalam R. Ibrahim, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Imperial Bhakti Utama

Zainuddin Arif, Zainuddin. 2012. Andragogi. Bandung: Angkasa






[1] Mustofa Kamil, “Teori Andragogi”, dalam Ibrahim R., Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Bandung: Imperial Bhakti Utama, 2007, vol. 1, h. 288
[2] Ibid., h. 292
[3] Ibid., h. 288
[4] Hase & Kenyon, Heutagogy: A child of complexity theory. Complicity: An International Journal of Complexity and Education, 4(1), 2007, h. 112
[5] Eberle, J. , Heutagogy: What your mother didn’t tell you about pedagogy and the conceptual age. In Proceedings from the 8th Annual European Conference on eLearning, Bari-Italy, October  2009, h. 29-30
[6] Hase, S., Heutagogy and e-learning in the workplace: Some challenges and opportunities. Impact: Journal of Applied Research in Workplace E-learning, 1(1), 2009, h. 45-46
[7] McAuliffe, M., Hargreaves, D., Winter, A., & Chadwick, G. Does pedagogy still rule? In Proceedings of the 2008 AAEE Conference, December 7-10, 2008. Yeppoon, Queensland, 2008, h. 3
[8][8] Ibid., h. 4
[9] Bhoryrub, J., Hurley, J., Neilson, G.R., Ramsay, M., & Smith, M. (2010). Heutagogy: An alternative practice based learning approach. Nurse Education in Practice, 10(6), 322-326. h. 326

[10] Djuju Sudjana, “Andragogi Praktis”, dalam R. Ibrahim, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Bandung: Imperial Bhakti Utama, 2007), vol. 2, h. 2-6
[11] Zainuddin Arif, Andragogi (Bandung: Angkasa, 2012), h. 12
[12] Nur A. Fadhil Lubis, Rekonstruksi Pendidikan Tinggi Islam (Bandung: Cipta Pustaka Media, 2014), h. 193
[13] Depatemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV Diponegoro, 2005), h. 59
[14] Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam: Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 167

Tidak ada komentar:

Posting Komentar