BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Belajar
merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang sangat penting dalam usahanya
mempertahankan hidup dan mengembangkan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Belajar dirasa penting karena kehidupan manusia semakin
berkembang dan semakin maju seiring dengan berkembangnya teknologi dan ilmu
pengetahuan, tanpa belajar manusia akan tertinggal dan tidak bisa mengikuti
perkembangan zaman. Dengan demikian belajar merupakan suatu kebutuhan yang
dirasa sebagai suatu keharusan untuk dipenuhi sepanjang usia manusia, sejak
lahir hingga akhir hayatnya.
Pada hakekatnya, belajar adalah suatu
proses kejiwaan atau peristiwa pribadi yang terjadi didalam diri setiap
individu. Hasil belajar itu sendiri tidak dapat tercapai jika dalam diri
seseorang tidak terjadi proses belajar. Belajar itu sendiri secara sederhana
dapat diberi definisi sebagai aktifitas yang dilakukan individu secara sadar
untuk mendapatkan sejumlah kesan dari apa yang telah dipelajari dan sebagai
hasil dari interaksinya dengan lingkungan sekitarnya. Aktivitas di
sini dipahami sebagai serangkaian kegiatan jiwa raga, psikofisik, menuju ke
perkembangan pribadi individu seutuhnya, yang menyangkut unsure cipta
(kognitif), rasa (afektif), dan karsa (psikomotor).
Pendidikan adalah segala situasi hidup
yang mempengaruhi pertumbuhan individu sebagai pengalaman belajar yang
berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Ini berarti individu
yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan itu atau sekurang-kurangnya
individu merasakan telah terjadi adanya suatu perubahan dalam dirinya. Suatu
perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna
agi kehidupan ataupun proses belajarberikutnya. Karakteristik yang khas dari
seeorang dapat kita sebut dengan kepribadian. Setiap manusia memiliki keunikan
dan ciri khas tersendiri, tidak ada manusia yang persis sama. Dari sekian
banyak manusia, ternyata masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Setiap
orang memiliki kepribadian yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor
bawaan dan faktor lingkungan yang saling berinteraksi terus-menerus.
Dalam kegiatan pembelajaran dekenal
dengan pendidikan orang dewasa, dimana pembelajaran ini merupakan hasil
pengembangan dari pendidikan masa ana-anak (perdagogi). Pada dasarnya
"orang dewasa" memiliki banyak pengalaman baik dalam bidang
pekerjaannya maupun pengalaman lain dalam kehidupannnya. Tentu saja untuk
menghadapi peserta pendidikan yang pada umumnya adalah "orang dewasa"
dibutuhkan suatu strategi dan pendekatan yang berbeda dengan "pendidikan
dan pelatihan" ala bangku sekolah, atau pendidikan konvensional yang
sering disebut dengan pendekatan Pedagogis. Dalam praktek
"pendekatan pedagogis" yang diterapkan dalam pendidikan dan pelatihan
seringkali tidak cocok. Untuk itu, dibutuhkan suatu pendekatan yang lebih cocok
dengan "kematangan", "konsep diri" peserta dan
"pengalaman peserta". Di dalam dunia pendidikan, strategi dan
pendekatan ini dikenal dengan "Pendidikan Orang Dewasa" (Adult Education).
Disamping itu, ada sebuah konsep
pembelajaran diri yang juga merupakan hasil pengembangan dari pembelajaran
orang dewasa (andragogi) yang disebut heutagogi. Jenis pembelajarn ini termasuk
pembelajaran yang baru dikenal dalam proses pembelajaran saat ini.
Untuk lebih memahami bagaimana
pembelajaran andragogi dan heutagogi, maka dalam makalah ini akan dibahas
tentang konsep pembelajaran tersebut serta bagaimana penerapannya dalam dunia
pendidikan saat ini.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
konsep pembelajaran andragogi dan heutagogi?
2. Bagaimana
prinsip-prinsip pembelajaran andragogi
dan heutagogi?
BAB
II
PENJELASAN
A.
Pembelajaran
Andragogi dan Heutagogi
1. Pembelajaran
Andragogi
Istilah andragogi bearasal dari bahasa Yunani “andra” yang berarti dewasa dan “agogos”
yang bermakna mendidik atau mengajari. Sehingga andragogi diartikan sebagai ilmu tentang cara membimbing orang
dewasa dalam proses belajar.[1]
Istilah andragogi pertama kali muncul
pada tahun 1833 oleh Alexander Kapp sebagai istilah pendidikan orang dewasa
dalam menjelaskan teori pendidikan yang telah dilahirkan oleh ahli-ahli
filsafat seperti Plato.
Menurut Knowles, pendidikan orang dewasa
berbeda dengan pendidikan anak-anak (paedagogi).
Jadi istilah andragogi mulai
dirumuskan sebagai teori baru sejak tahun 1970-an oleh Malcolm Knowles yang
memperkenalkan istilah tersebut untuk pembelajaran pada orang dewasa.[2]
Menurutnya lagi bahwa orang dewasa dapat mandiri dan mengharapkan mengambil
tanggung jawab atas keputusan mereka sendiri.
Menurut Mustofa Kamil, definisi
pendidikan orang dewasa merujuk pada kondisi peserta didik dewasa baik dilihat
dari dimensi fisik (biologis), psikologis, dan sosial. Sesorang dikatakan
dewasa secara biologis apabila ia telah mampu melakukan reproduksi. Adapun
dewasa secara psikologis berarti seseorang telah memiliki tanggung jawab
terhadap kehidupan dan keputusan yang diambil. Kemudian dewasa secara
sosiologis berarti seseorang telah mampu melakukan peran-peran sosial yang
biasa berlaku di masyarakat. [3]
Dalam ajaran Islam, seseorang dikatakan dewasa apabila ia telah memasuki
usia balig, yakni usia yang telah mengakhiri masa kanak-kanak dan telah
mencapai dewasa secara syari’at sehingga memiliki tanggung jawab yang
ditentukan dalam dirinya untuk memikul kewajiban hukum syar’i. Ketika memasuki usia balig, seseorang dipandang telah mampu
membedakan yang baik dan buruk serta memiliki pandangan atau pemikiran yang
lebih luas dibanding masa kanak-kanak.
Dari pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa andragogi adalah proses pendidikan dan pembelajaran bagi
peserta didik yang dewasa. Dewasa yang dimaksud utamanya kedewasaan atau sikap
dewasa yang bisa ditampilkan oleh warga belajar.
Dalam implementasinya, pendidikan orang
dewasa dilaksanakan dalam bentuk pendidikan formal dan nonformal. Bentuk
pendidikan formal dilaksanakan pada level pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat
Atas (SLTA) hingga Perguruan Tinggi (PT). Kemudian dalam wujud nonformal,
dilaksanakan dalam bentuk Pendidikan Luar Sekolah (PLS), kursus-kursus,
bimbingan dan penyuluhan kesehatan, kegiatan pengajian agama atau majelis
taklim, pelatihan organisasi-organisasi, program-program pembangunan
masyarakat, dan sejenisnya.
2. Pembelajaran
Heutagogi
Heutagogi (berdasarkan bahasa Yunani
untuk "diri") didefinisikan oleh Hase dan Kenyon pada tahun 2000
sebagai studi tentang pembelajaran yang ditentukan sendiri. Heutagogi
menerapkan pendekatan holistik untuk mengembangkan kemampuan belajar, dengan
belajar sebagai proses aktif dan proaktif, dan peserta didik berperan sebagai
"agen utama dalam pembelajaran mereka sendiri, yang terjadi sebagai hasil
pengalaman pribadi”.[4]
Seperti dalam pendekatan andragogi,
dalam heutagogi, pendidik juga
memfasilitasi proses pembelajaran dengan memberikan panduan dan sumber daya,
namun sepenuhnya membebaskan jalan pembelajaran dan proses kepada peserta didik,
yang menegosiasikan pembelajaran dan menentukan apa yang akan dipelajari dan
bagaimana hal itu dipelajari.[5]
Konsep kunci dalam heutagogi adalah
pembelajaran double-loop dan refleksi
diri. Dalam pembelajaran double-loop,
peserta didik mempertimbangkan masalah dan tindakan dan hasil yang dihasilkan,
selain untuk merefleksikan proses pemecahan masalah dan bagaimana hal itu
mempengaruhi keyakinan dan tindakan peserta didik. Pembelajaran double-loop terjadi ketika peserta didik "mempertanyakan dan menguji
nilai dan asumsi pribadi seseorang sebagai inti untuk meningkatkan pembelajaran
bagaimana cara belajar".[6]
Menurut Stephenson seperti yang dikutip
oleh McAuliffe, dalam pembelajaran yang ditentukan sendiri, penting bagi
peserta didik untuk memperoleh kompetensi dan kemampuan.[7]
Kompetensi dapat dipahami sebagai kemampuan yang terbukti dalam memperoleh
pengetahuan dan keterampilan, sementara kemampuan ditandai oleh kepercayaan
peserta didik terhadap kompetensinya dan, sebagai hasilnya, kemampuan
"mengambil tindakan yang tepat dan efektif untuk merumuskan dan memecahkan
masalah baik yang familiar maupun yang tidak biasa dan mengubah keadaan.
Dari pernyataan beberapa teori di atas
dapat dipahami bahwa pembelajaran heutagogi adalah pembelajaran tentang
bagaimana cara belajar dan menemukan sendiri dalam menyelesaikan suatu masalah
dalam pembelajaran.
Pada tahap aplikasi pembelajaran heutagogi, McAuliffe et al. berpendapat bahwa "peniadaan pendidik
membuat konsep heutagogi tidak
praktis di lembaga yang terpercaya" dan tidak mungkin atau bahkan masuk
akal untuk
menerapkan jenis heutagogi dari penilaian yang didengar Peserta didik.[8]
Meskipun
demikian, para pendidik dalam profesi keperawatan, teknik, dan pendidikan telah
menemukan heutagogi untuk menjadi respons yang kredibel terhadap isu kritis
yang dihadapi peserta didik di tempat kerja dan telah merancang lingkungan
belajar mereka berdasarkan pendekatan. Misalnya, dalam profesi keperawatan,
Bhoyrub dkk melaporkan bahwa heutagogi
menyediakan kerangka kerja pembelajaran yang membahas kebutuhan siswa
keperawatan, siapa yang harus belajar dalam lingkungan yang senantiasa berubah
yang kompleks dan tidak dapat diprediksi; Pendekatan pembelajaran heutagogis
membantu mereka menjadi pelajar seumur hidup, dan juga "memahami
ketidakpastian yang diperlukan yang mendefinisikan keperawatan."[9]
B.
Prinsip-Prinsip
Pembelajaran Andragogi dan Heutagogi
1. Prinsip-Prinsip
Pembelajaran Andragogi
Knowles merumuskan prinsip-prinsip
layanan bagi pembelajaran orang dewasa yaitu:
a. The self-concept
(konsep diri), orang dewasa dapat mengarahkan diri untuk belajar.
Orang dewasa memiliki persepsi bahwa
dirinya mampu membuat suatu keputusan, dapat menghadapi resiko sebagai akibat
dari keputusan yang diambil, dan dapat mengatur kehidupan secara mandiri. Harga
diri sangat penting bagi orang dewasa, dan dia memerlukan pengakuan dari orang
lain terhadap harga dirinya. Perilaku yang terkesan menggurui cenderung akan
ditanggapi secara negatif oleh orang dewasa. Apabila orang dewasa dihargai dan
difasilitasi oleh pendidik maka mereka akan melibatkan diri secara optimal
dalam pembelajaran. Kegiatan belajarnya akan berkembang ke arah belajar
antisispatif (berorientasi ke masa depan) dan belajar partisipatif (bersama
orang lain) dengan berpikir dan berbuat di dalam dan terhadap dunia
kehidupannya.
b. The role of learner’s experiences (pengalaman
hidup), orang dewasa banyak belajar dari pengalaman.
Setiap orang dewasa mempunyai pengalaman
situasi, interaksi dan diri yang berbeda antara seorang dengan yang lainnya
sesuai dengan perbedaan latar belakang kehidupan dan lingkungannya. Pengalaman
situasi merupakan sederet suasana yang dialami orang dewasa pada masa lalu yang
dapat digunakan untuk menanggapi keadaan saat ini. Pengalaman interaksi
menyebabkan pertambahan kemahiran orang dewasa dalam memadukan kesadaran untuk
melihat dirinya dari segi pandangan orang lain. Pengalaman diri adalah
kecakapan orang dewasa pada masa kini dengan berbagai situasi masa lalu.
Oleh karena itu, pengalaman orang dewasa
dapat dijadikan sumber belajar yang kaya untuk dimanfaatkan dalam pembelajaran.
Orang dewasa yang mempelajari sesuatu yang baru cenderung dimaknai dengan
menggunakan pengalaman lama. Sejalan dengan itu, peserta didik orang dewasa
perlu dilibatkan sebagai sumber pembelajaran. Pengenalan dan penerapan
konsep-konsep baru akan lebih mudah apabila berangkat dari pengalaman yang
dimiliki orang dewasa.
Bagi pembelajar dewasa, faktor
pengalaman masa lampau sangat berpengaruh pada setiap tindakan yang akan
dilakukan. Karena itu, pengalaman yang baik perlu digali dan ditumbuhkembangkan
ke arah yang lebih bermanfaat. Disamping itu, pengembangan intelektualitas
orang dewasa melalui suatu proses pengalaman secara bertahap dan diperluas.
Pemaksimalan hasil pembelajaran dapat dicapai apabila setiap individu dewasa
dapat memperluas jangkauan pola berpikirnya.
c. Readiness to learn (kesiapan
belajar), orang dewasa memiliki kesiapan yang maksimal untuk belajar.
Sesuai dengan tingkat perkembangannya,
orang dewasa diasumsikan memiliki kesiapan belajar yang matang, karena mereka
harus menghadapi perannya sebagai pekerja, orang tua, atau pemimpin organisasi.
Pembelajar dewasa siap untuk belajar hal-hal yang perlu mereka ketahui agar
dapat mengatasi situasi kehidupannya secara efektif. Kesiapan belajarnya juga
lebih dominan ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas serta
peranan sosialnya. Kesiapan belajar
orang dewasa akan seirama dengan peran yang ia tampilkan baik dalam masyarakat
maupun dalam tugas atau pekerjaan. Urutan program pembelajaran perlu disusun
berdasarkan urutan tugas yang diperankan orang dewasa bukan berdasarkan urutan
logis mata pelajaran. Jadi pembelajaran ini sudah masuk pada tahap pembelajaran
aplikasi.
d. Orientation to learning (orientasi
belajar), orang dewasa memiliki kemampuan belajar.
Kemampuan dasar untuk belajar tetap
dimiliki setiap orang sepanjang hayatnya, khususnya orang dewasa. Kegiatan
belajar orang dewasa senantiasa berorientasi pada realitas (kenyataan). Orang
dewasa dapat belajar efektif apabila melibatkan aktivitas mental dan fisik.
Orang dewasa dapat menentukan apa yang dipelajari, dimana dan bagaimana cara
mempelajarinya serta kapan melakukan kegiatan belajar. Mereka dapat belajar
dengan melibatkan pikiran dan perbuatan. Orang dewasa akan belajar secara
efektif dengan melibatkan kemampuan intelek dan emosi, serta memanfaatkan
berbagai media, metode, teknik dan pengalaman belajar.[10]
Oleh karena itu, pembelajaran perlu
mengarah pada peningkatan kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi
dalam kehidupannya. Dalam pendidikan orang dewasa, orientasi belajar diarahkan
untuk memecahkan masalah, yakni belajar sambil bekerja pada persoalan sekarang
untuk dipergunakan di masa sekarang juga dan kemudian diarahkan untuk bekal
hidup di masa mendatang. Implikasi praktisnya, pembelajaran ini perlu
berorientasi pada pemecahan masalah yang yang relevan dengan peranan orang
dewasa dalam kehidupannya.
e. The need to know (kebutuhan
pengetahuan), orang dewasa paling tertarik untuk mempelajari mata pelajaran
yang memiliki relevansi langsung dengan pekerjaannya atau kehidupan pribadinya.
Orang dewasa diasumsikan memiliki
kebutuhan terhadap pengetahuan. Kecenderungannya sebelum mempelajari sesuatu,
mereka memandang perlu untuk mengetahui mengapa mereka harus mempelajarinya.
Kebutuhan orang dewasa terhadap pengetahuan menunjukkan pentingnya aktivitas
belajar sepanjang hayat (life long education).
Dengan alasan kebutuhan, orang dewasa akan mendorong dirinya untuk belajar (learning to learn) sehingga dapat
merespon dan menguasai secara cerdas berbagai pengetahuan yang berkembang
seiring dengan pesatnya perkembangan zaman.
Orang dewasa berpartisipasi dalam
pembelajaran karena ia sedang merespon materi dan proses pembelajaran yang
berhubungan dengan peran dalam kehidupannya. Pembelajaran orang dewasa
hendaklah dirancang berdasarkan kebutuhan dan masalah yang dihadapi orang
dewasa, seperti kebutuhan dan masalah dalam pekerjaan, peranan sosial budaya,
dan ekonomi.
Sejatinya pendidikan orang dewasa dapat
mengakomodir segala aspek yang dibutuhkan orang dewasa yang terkait dalam
aktivitas pembelajaran. Karena itu, idealnya dalam pendidikan orang dewasa
dapat dilaksanakan langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut:[11]
1) Menciptakan
iklim belajar yang cocok untuk orang dewasa;
2) Menciptakan
struktur organisasi untuk perencanaan yang bersifat partisipatif;
3) Mendiagnosis
kebutuhan belajar;
4) Merumuskan
tujuan belajar;
5) Mengembangkan
rancangan kegiatan belajar;
6) Melaksanakan
kegiatan belajar;
7) Mendiagnosis
kembali kebutuhan belajar (evaluasi).
f. Motivation (motivasi),
orang dewasa memiliki motivasi internal untuk belajar karena mengetahui manfaat
yang akan diperoleh dari apa yang dipelajarinya sehingga akan memberikan
dorongan dari dalam diri untuk mengikuti pelajaran.
Selain itu, orang dewasa diasumsikan
memiliki motivasi instrinsik yang dapat bertahan dalam menyelesaikan
tugas-tugas belajar tanpa ada tekanan eksternal, baik dalam bentuk sanksi atau
hukuman (punisment) maupun hadiah (reward). Orang dewasa memiliki kebebasan
untuk meneruskan aktivitas belajar atau menundanya, demikian pula menghentikan
aktivitas lain demi kelangsungan kegiatan belajarnya.
Lubis mengatakankan bahwa kondisi
pembelajaran andragogi harus diwujudkan sedemikian rupa untuk memotivasi
peserta didik dewasa merasakan kebutuhan belajar.[12]
Proses pembelajaran bagi orang dewasa dapat memotivasi diri untuk mencari
pengetahuan atau keterampilan yang lebih tinggi.
Berbeda halnya dengan Knowles, dalam
ajaran Islam, pendidikan oramg dewasa diarahkan untuk memaksimalkan potensi ‘aql (akal) dan qalb (kalbu) secara bersamaan untuk memahami ayat-ayat kauniah dan qauliyah Allah. Potensi akal untuk
berfikir sedangkan potensi kalbu untuk berzikir. Orang-orang dewasa yang mampu
memahami memahami secara mendetail tentang ayat-ayat Allah dengan memaksimalkan
daya pikr dan zikir disebut dengan istilah ulul
albab dalam firman-Nya (QS. Ali Imran/3: 190-191):
“(190) Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal; (191) (Yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): “ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan sesuatu dengan sia-sia,
Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”[13]
Dari
ayat tersebut bahwa obyek telaah pikir dan zikir ulul albaab adalah proses penciptaan langit dan bumi dan proses
pertukaran siang dan malam.[14]
Orang-orang dewasa yang mampu menghubungkan antara aql dan qalb dalam
menemukan kebenaran diistilahkan al-Qur’an dengan ulul albab, yaitu orang-orang yang mampu memikirkan dan memahami
seluk-beluk sesuatu sampai pada hakikat dan esensinya.
Orang-orang dewasa yang menggunakan
potensi pikir, zikir, dan kebersihan jiwa dalam kehidupannya, tentu saja
memiliki motivasi yang kuat untuk menguasai ilmu dan memandang pendidikan
sangat bermanfaat dalam mencapai kesejahteraan lahir-batin, sehingga senantiasa
membutuhkan pendidikan dan gemar belajar secara berkesinambungan selagi
kehidupan dunia masih dijalaninya. Sikap pembelajaran orang dewasa seperti
inilah yang mendukung terlaksananya asas pendidikan seumur hidup (life long education) untuk tumbuh subur
dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Disamping itu, dalam
Islam merekomendasikan education for
human being forever (pendidikan manusia selamanya).
2. Prinsip-Prinsip
Pembelajaran Heutagogi
Prinsip-prinsip dalam pebelajaran
heutagogi yaitu:
a. Merasakan
belajar yang selaras dengan eksistensi diri. Selaras dengan keberadaan diri,
maksudnya kita akan lebih mudah merasakan belajar ketika pengalaman tersebut
dirasa selaras dengan keberadaan diri kita.
b. Menfilter
pengalaman yang tidak selaras, pengalaman yang dirasa tidak selaras dengan
keadaan diri akan mengalami penyaringan sehingga tidak mudah mempengaruhi diri,
dan tidak mudah ditangkap sebagai pembelajaran.
BAB
III
KESIMPULAN
Andragogi diartikan sebagai ilmu tentang
cara membimbing orang dewasa dalam proses belajar. Sedangkan Heutagogi
didefinisikan sebagai studi tentang pembelajaran yang ditentukan sendiri, atau
dalam istlah lain belajar cara belajar.
Prinsipi-prinsip dalam pembelajaran
andragogi yaitu: (1) The self-concept
(konsep diri), (2) The role of learner’s
experiences (pengalaman hidup), (3) Readiness
to learn (kesiapan belajar), (4) Orientation
to learning (orientasi belajar), (5) The
need to know (kebutuhan pengetahuan), (6) Motivation (motivasi). Dalam pembelajaran heutagogi dikenal dengan
prisip-prinsip: (1) Merasakan belajar yang selaras dengan eksistensi diri, (2)
Menfilter pengalaman yang tidak selaras.
DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin.
2007. Paradigma Psikologi Islam: Studi
tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bhoryrub,
J., Hurley, J., Neilson, G.R., Ramsay, M., & Smith, M. (2010). Heutagogy:
An alternative practice based learning approach. Nurse Education in
Practice, 10(6), 322-326.
Departemen
Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV Diponegoro
Eberle, J. 2009.
Heutagogy: What your mother didn’t tell you about pedagogy and the conceptual
age. In Proceedings from the 8th Annual European Conference on eLearning,
October 29-30, 2009. Bari, Italy
Hase, S. 2009. Heutagogy and
e-learning in the workplace: Some challenges and opportunities. Impact:
Journal of Applied Research in Workplace E-learning, 1(1), 43-52.
Hase, S. & Kenyon, C. 2007.
Heutagogy: A child of complexity theory. Complicity: An International
Journal of Complexity and Education, 4(1), 111-119
Kamil,
Mustofa. 2007. “Teori Andragogi”, dalam Ibrahim R., Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Imperial Bhakti Utama
Lubis,
Nur A. Fadhil. 2014. Rekonstruksi
Pendidikan Tinggi Islam. Bandung: Cipta Pustaka Media
McAuliffe,
M., Hargreaves, D., Winter, A., & Chadwick, G. 2008. Does pedagogy still
rule? In Proceedings of the 2008 AAEE Conference. Yeppoon, Queensland
Sudjana,
Djuju. 2007. “Andragogi Praktis”, dalam R. Ibrahim, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Imperial Bhakti Utama
Zainuddin
Arif, Zainuddin. 2012. Andragogi. Bandung:
Angkasa
[1] Mustofa
Kamil, “Teori Andragogi”, dalam
Ibrahim R., Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Bandung:
Imperial Bhakti Utama, 2007, vol. 1, h. 288
[2] Ibid., h. 292
[3] Ibid., h. 288
[4] Hase
& Kenyon, Heutagogy: A child of complexity theory. Complicity: An International
Journal of Complexity and Education, 4(1), 2007, h. 112
[5] Eberle, J. , Heutagogy:
What your mother didn’t tell you about pedagogy and the conceptual age. In Proceedings
from the 8th Annual European Conference on eLearning, Bari-Italy,
October 2009, h. 29-30
[6] Hase, S., Heutagogy
and e-learning in the workplace: Some challenges and opportunities. Impact:
Journal of Applied Research in Workplace E-learning, 1(1), 2009, h. 45-46
[7] McAuliffe, M.,
Hargreaves, D., Winter, A., & Chadwick, G. Does pedagogy still rule? In Proceedings
of the 2008 AAEE Conference, December 7-10, 2008. Yeppoon, Queensland,
2008, h. 3
[8][8] Ibid., h. 4
[9] Bhoryrub, J.,
Hurley, J., Neilson, G.R., Ramsay, M., & Smith, M. (2010). Heutagogy: An
alternative practice based learning approach. Nurse Education in Practice,
10(6), 322-326. h. 326
[10] Djuju
Sudjana, “Andragogi Praktis”, dalam
R. Ibrahim, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan
(Bandung: Imperial Bhakti Utama, 2007), vol. 2, h. 2-6
[11]
Zainuddin Arif, Andragogi (Bandung:
Angkasa, 2012), h. 12
[12] Nur A.
Fadhil Lubis, Rekonstruksi Pendidikan
Tinggi Islam (Bandung: Cipta Pustaka Media, 2014), h. 193
[13]
Depatemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya (Bandung: CV Diponegoro, 2005), h. 59
[14]
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam:
Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), h. 167
Tidak ada komentar:
Posting Komentar